Selasa, 30 Oktober 2012

PSIKOLOG

BAB I PENDAHULUAN Kedudukan dan fungsi suatu keluarga dalam kehidupan manusia bersifat primer dan fundamental.Keluarga pada hakekatnya merupakan wadah pembentukan masing-masing anggotanya, terutama anak-anak yang masih berada dalam bimbingan tanggung jawab orangtuanya.Perkembangan anak pada umumnya meliputi keadaan fisik, emosional sosial dan intelektual. Bila kesemuanya berjalan secara harmonis maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut dalam keadaan sehat jiwanya. Dalam perkembangan jiwa terdapat periode-periode kritik yang berarti bahwa bila periode-periode ini tidak dapat dilalui dengan harmonis maka akan timbul gejala-gejala yang menunjukkan misalnya keterlambatan, ketegangan, kesulitan penyesuaian diri kepribadian yang terganggu bahkan menjadi gagal sama sekali dalam tugas sebagai makhluk sosial untuk mengadakan hubungan antar manusia yang memuaskan baik untuk dirisendiri maupun untuk orang di lingkungannya. Keluarga merupakan kesatuan yang terkecil di dalam masyarakat tetapi menepati kedudukan yang primer dan fundamental, oleh sebab itu keluarga mempunyai peranan yang besar dan vital dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak, terutama pada tahap awal maupun tahap-tahap kritisnya. Keluarga yang gagal memberi cinta kasih dan perhatian akan meupuk kebencian, rasa tidak aman dan tindak kekerasan kepada anak-anaknya. Demikian pula jika keluarga tidak dapat menciptakan suasana pendidikan, maka hal ini akan menyebabkan anak-anak terperosok atau tersesat jalannya. Dalam makalah ini penulis menyajikan mengenai pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja dan beberapa penanggulangannya. BAB II PEMBAHASAN A. PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK. Pengertian keluarga berarti nuclear family yaitu yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah dan ibu secara ideal tidak terpisah tetapi bahu membahu dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai orang tua dan mampu memenuhi tugas sebagai pendidik. Tiap eksponen mempunyai fungsi tertentu. Dalam mencapai tujuan keluarga tergantung dari kesediaan individu menolong mencapai tujuan bersama dan bila tercapai maka semua anggota mengenyam " Apakah peranan masing-masing " A. Peranan ayah: 1. Sumber kekuasaan, dasar identifikasi. 2. Penghubung dengan dunia luar. 3. Pelindung terhadap ancaman dari luar. 4. Pendidik segi rasional. B. Peranan Ibu : 1. Pemberi aman dan sumber kasih sayang. 2. Tempat mencurahkan isi hati. 3. Pengatur kehidupan rumah tangga. 4. Pembimbing kehidupan rumah tangga. 5. Pendidik segi emosional. 6. Penyimpan tradisi. C. Peranan anak laki-laki dan wanita. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa keluarga pada hakekatnya merupakan wadah pembentukan masing-masing anggotanya, terutama anak-anak yang masih berada dalam bimbingan tanggung jawab orang tuanya. Dasar pemikiran dan pertimbangannya adalah sebagai berikut : a. Keluarga adalah tempat perkembangan awal seorang anak, sejak saat kelahirannya sampai proses perkembangan jasmani dan rohani berikutnya. Bagi seorang anak, keluarga memiliki arti dan fungsi yang vital bagi kelangsungan hidup maupun dalam menemukan makna dan tujuan hidupnya. b. Untuk mencapai perkembangannya seorang anak membutuhkan kasih sayang, perhatian dan rasa aman untuk berlindung dari orang tuanya. Tanpa sentuhan manusiawi itu anak akan merasa terancam dan penuh rasa takut. c. Keluarga merupakan dunia keakraban seorang anak. Sebab dalam keluargalah dia mengalami pertama-tama mengalami hubungan dengan manusia dan memperoleh representasi dari dunia sekelilingnya. Pengalaman hubungan dengan keluarga semakin diperkuat dalam proses pertumbuhan sehingga melalui pengalaman makin mengakrabkan seorang anak dengan lingkungan keluarga. Keluarga menjadi dunia dalam batin anak dan keluarga bukan menjadi suatu realitas diluar seorang anak akan tetapi menjadi bagian kehidupan pribadinya sendiri. Anak akan menemukan arti dan fungsinya. d. Dalam keluarga seorang dipertalikan dengan hubungan batin yang satu dengan lainnya. Hubungan itu tidak tergantikan Arti seorang ibu tidak dapat dengan tiba-tiba digantikan dengan orang lain. e. Keluarga dibutuhkan seorang anak untuk mendorong, menggali, mempelajari dan menghayati nilai-nilai f. kemanusiaan, religiusitas, norma-norma dan sebagainya. Nilai-nilai luhur tersebut dibutuhkan sesuai dengan martabat kemanusiaannya dalam penyempumaan diri. g. Pengenalan didalam keluarga memungkinkan seorang anak untuk mengenal dunia sekelilingnya jauh lebih baik. Hubungan diluar keluarga dimungkinkan efektifitasnya karena pengalamannya dalam keluarga. h. Keluarga merupakan tempat pemupukan dan pendidikan untuk hidup bermasyarakat dan bernegara agar mampu berdedikasi dalam tugas dan kewajiban dan tanggung jawabnya sehingga keluarga menjadi tempat pembentukan otonom diri yang memiliki prinsip-prinsip kehidupan tanpa mudah dibelokkan oleh arus godaan. i. Keluarga menjadi fungsi terpercaya untuk saling membagikan beban masalah, mendiskusikan pokok-pokok masalah, mematangkan segi emosional, mendapatkan dukungan spritual dan sebagainya. j. Dalarn keluarga dapat terealisasi makna kebersamaan, solidaritas, cinta kasih, pengertian, rasa hormat menghormati clan rasa merniliki. k. Keluarga menjadi pengayoman dalam beristirahat, berekreasi, menyalurkan kreatifitas dan sebagainya. Pengalaman dalam interaksi sosial pada keluarga akan turut menentukan pola tingkah lakunya terhadap orang lain dalam pergaulan diluar keluarganya. Bila interksi sosial didalarn kelompok karena beberapa sebab tidak lancar kemungkinan besar interaksi sosialnya dengan masyarakat pada umumnya juga akan berlangsung dengan tidak wajar. Keluarga mempunyai peranan dalam proses sosialisasi dernikian pentingnya l. peranan keluarga maka disebutkan bahwa kondisi yang menyebabkan peran keluarga dalam proses sosialisasi anak adalah sebagai berikut 1. Keluarga merupakan kelompok terkecil yang anggotanya berinteraksi to face secara tetap, dalam kelompok demikian perkembangan anak dapat diikuti dengan sesama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam hubungan sosial lebih mudah terjadi. 2. Orang tua mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik anak karena anak merupakan cinta kasih hubungan suami istri. Motivasi yang kuat melahirkan hubungan emosional antara orangtua dan anak. 3. Karena hubungan sosial dalam keluarga itu bersifat relatif tetap maka orangtua memainkan peranan sangat penting terhadap proses sosialisasi anak. B. PENGERTIAN KENAKALAN ANAK/ REMAJA Kenakalan remaja merupakan perbuatan pelanggaran norma-norma baik norma hukum maupun norma sosial. Menurut Paul Moedikdo,SH kenakalan remaja adalah : 1. Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan bagi anak-anak merupakan kenakalan jadi semua yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya dan sebagainya. 2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu untuk menimbulkan keonaran dalam masyarakat. 3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial. Adapun gejala-gejala yang dapat memperlihatkan hal-hal yang mengarah kepada kenakalan remaja :  Anak-anak yang tidak disukai oleh teman-temannya sehingga anak tersebut menyendiri. Anak yang demikian akan dapat menyebabkan kegoncangan emosi.  Anak-anak yang sering menghindarkan diri dari tanggung jawab di rumah atau disekolah. Menghindarkan diri dari tanggung jawab biasanya karena anak tidak Menyukai pekerjaan yang ditugaskan pada mereka sehingga mereka menjauhkan diri dari padanya dan mencari kesibukan-kesibukan lain yang tidak terbimbing.  Anak-anak yang sering mengeluh dalam arti bahwa mereka mengalami masalah yang oleh dia sendiri tidak sanggup mencari permasalahannya. Anak seperti ini sering terbawa kepada kegoncangan emosi.  Anak-anak yang mengalami phobia dan gelisah dalam melewati batas yang berbeda dengan ketakutan anal-anak normal.  Anak-anak yang suka berbohong.  Anak-anak yang suka menyakiti atau mengganggu teman-temannya di sekolah atau di rumah.  Anak-anak yang menyangka bahwa semua guru mereka bersikap tidak baik terhadap mereka dan sengaja menghambat mereka.  Anak-anak yang tidak sanggup memusatkan perhatian. C. PENGARUH KELUARGA TERHADAP KENAKALAN ANAK Pengaruh keluarga dalam kenakalan remaja adalah : A. Keluarga yang Broken Home Masa remaja adalah masa yang diamana seorang sedang mengalami saat kritis sebab ia mau menginjak ke masa dewasa. Remaja berada dalam masa peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari identitasnya. Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa fungsi keluarga adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka dalam masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi tersebut. Sebab dalam masa yang kritis seseorang kehilangan pegangan yang memadai dan pedoman hidupnya. Masa kritis diwarnai oleh konflik-konflik internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, cita-cita dan kemauan yang tinggi tetapi sukar ia kerjakan sehingga ia frustasi dan sebaginya. masalah keluarga yang broken home bukan menjadi masalah baru tetapi merupakan masalah yang utama dari akar-akar kehidupan seorang anak. Keluarga merupakan dunia keakraban dan diikat oleh tali batin, sehingga menjadi bagian yang vital dari kehidupannya. Penyebab timbulnya keluarga yang broken home antara lain:  Orang tua yang bercerai Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan yang telah terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri antara suami istri tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar dan menjauh ke dalam dunianya sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi sehingga masing-masing merasa serba asing tanpa ada rasa kebertautan yang intim lagi.  Kebudayaan bisu dalam keluarga Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu tersebut justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali batin. Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu terjadi diantara orang yang tidak saling mengenal dan dalam situasi yang perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja; anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri. Mereka lebih baik berdiam diri saja. Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang sama dialog mempunyai peranan yang sangat penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog dalam masa kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orangtua terlalu menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya. Ternyata perhatian orangtua dengan memberikan kesenangan materiil belum kedudukannya dengan benda mahal dan bagus. Menggantikannya berarti melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda mati.  Perang dingin dalam keluarga Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada kebudayaan bisu. Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog juga disisipi oleh rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Awal perang dingin dapat disebabkan karena suami mau memenangkan pendapat dan mampu menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan pendiriannya sendiri, sedangkan istri hanya mempertahankan keinginan dan kehendaknya sendiri. Suasana perang dingin dapat menimbulkan : 1. Rasa takut dan cemas pada anak-anak. 2. Anak-anak menjadi tidak betah dirumah sebab merasa tertekan dan bingung serta tegang. 3. Anak-anak menjadi tertutup dan tidak dapat mendiskusikan problem yang dialami. 4. Semangat belajar dan konsentrasi mereka menjadi lemah. 5. Anak-anak berusaha mencari kompensasi semu. B. Pendidikan yang salah a. Sikap memanjakan anak Keluarga mempunyai peranan di dalam pertumbuhan dan perkembangan pribadi seorang anak. Sebab keluarga merupakan lingkungan pertama dari tempat kehadirannya dan mempunyai fungsi untuk menerima, merawat dan mendidik seorang anak. Jelaslah keluarga menjadi tempat pendidikan pertama yang dibutuhkan seorang anak. Dan cara bagaimana pendidikan itu diberikan akan menentukan. Sebab pendidikan itu pula pada prinsipnya adalah untuk meletakkan dasar dan arah bagi seorang anak. Pendidikan yang baik akan mengembangkan kedewasaan pribadi anak tersebut. Anak itu menjadi seorang yang mandiri, penuh tangung jawab terhadap tugas dan kewajibannya, menghormati sesama manusia dan hidup sesuai martabat dan citranya. Sebaliknya pendidikan yang salah dapat membawa akibat yang tidak baik bagi perkembangan pribadi anak. Salah satu pendidikan yang salah adalah memanjakan anak. Beberapa faktor yang menyebabkan orang tua memanjakan anaknya yaitu : a. Orang tua anak tersebut dimanjakan oleh orang tuanya pula sehingga pengalaman itu diwariskan kepada anaknya. b. Orang tua mempunyai konsep kebahagiaan yang kurang tepat. Misalnya kebahagiaan diidentik dengan menyenangkan hati anak-anaknya dengan menuruti semua permintaan mereka dengan memberi barang-barang lux, uang. c. Sikap memanjakan dapat disebabkan juga karena orang tua dahulu mempunyai pengalaman hidup yang pahit dan miskin sehingga mereka ingin menghindari anak-anak mereka dari situasi yang serba sulit. d. Orang tua yang banyak kegiatan dan bisnis sehingga tidak mempunyai waktu senggang yang cukup bagi anak-anaknya. Kegiatan overaktif ini dapat menimbulkan rasa bersalah bagi orang tua tersebut sehingga mereka menuruti semua permintaan atau memberikan barang-barang berharga sebagai substitusi kasih sayang mereka. e. Kecendrungan orang tua yang kadang-kadang membedakan anak-anak mereka. Sikap membedakan biasanya dilatarbelakangi oleh factor pandangan/ kebudayaan tertentu misalnya rasa bangga terhadap anak laki-laki. Keadilan orang tua yang tidak merata terhadap anak dapat berupa perbedaan dalam pemberian fasilitas terhadap anak maupun perbedaan kasih sayang. Bagi anak yang merasa diperlakukan tidak adil dapat menyebabkan kekecewaan anak pada orang taunya dan akan merasa iri hati dengan saudara kandungnya. Dalam hubungan ini biasanya anak melakukan protes terhadap orang tuanya yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kenakalan. Berbagai cara orang tua dalam mendidik anak yang menggunakan otoriter dan adapula yang menggunakan demokrasi. Dalam satu keluarga bisa terjadi perbedaan dalam cara mendidik anak misalnya anak yang satu dididik secara otoriter dan yang lainnya secara demokratis. Sikap otoriter yaitu yang menetukan segala-galanya mengenai apa yang harus dilakukan oleh seorang anak setiap kali anak hanya boleh melakukan satu jenis perbuatan saja, bersifat personal dalam memberikan pujian dan celaan dan dalam memberikan bimbingan itu orang tua bersifat pasif, tidak turut secara aktif. Anak–anak yang orang tuanya otoriter banyak menunjukkan ciri-ciri pasif (sikap menunggu) dan menyerahkan segala kepada orang lain. Disamping rasa kecemasan dan mudah putus asa dalam jiwa anak. Sikap yang demokratis adalah memberikan kebebasan terlalu besar kepada anak dalam batas-batas tertentu; secara aktif orang tua ikut serta dalam memberikan pekerjaan, lebih bersifat objektif dalam memberikan pujian dan celaan. b. Anak tidak diberikan pendidikan agama Hal ini dapat terjadi bila orang tua tidak meberikan pendidikan agama atau mencarikan guru agama di rumah atau orang tua mau memberikan pendidikan agama dan mencarikan guru agama tetapi anak tidak mau mengikuti. Bagi anak yang tidak dapat/mengikuti pendidikan agama akan cenderung untuk tidak mematuhi ajaran-ajaran agama. Seseorang yang tidak patuh pada ajaran agama mudah terjerumus pada perbuatan keji dan mungkar jika ada faktor yang mempengaruhi seperti perbuatan kenakalan remaja. C. Anak yang ditolak Penolakan anak biasanya dilakukan oleh suami istri yang kurang dewasa secara psikis. Misalkan mereka mengharapkan lahirnya anak laki-laki tetapi memperoleh anak perempuan. Sering pula disebabkan oleh rasa tidak senang dengan anak pungut atau anak dari saudara yang menumpang di rumah mereka. Faktor lain karena anaknya lahir dengan keadaan cacat sehingga dihinggapi rasa malu. Anak-anak yang ditolak akan merasa diabaikan, terhina dan malu sehingga mereka mudah sekali mengembangkan pola penyesalan, kebencian, dan agresif. D. PENGENDALIAN TERHADAP KENAKALAN ANAK Dalam menghadapi kenakalan anak pihak orang tua hendaknya dapat mengambil dua sikap bicara yaitu: 1. Sikap/cara yang bersifat preventif Yaitu perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk menjauhkan si anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan pergaulan yang buruk. Dalam hat sikap yang bersifat preventif, pihak orang tua dapat memberikan/mengadakan tindakan sebagai berikut : a) Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak. b) Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu. c) Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak. d) Menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intimdalam satu Ikatan keluarga. Dalam mengatasi kenakalan remaja yang paling dominan adalah dari keluarga merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak. Disamping keempat hal yang diatas maka hendaknya diadakan pula: a) Pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna. b) Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif. c) Rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak. d) Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya. 2. Sikap/cara yang bersifat represif Yaitu pihak orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam kegiatan sosial yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak seperti menjadi anggota badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut serta dalam diskusi yang khusus mengenai masalah kesejahteraan anak-anak. Selain itu pihak orang tua terhadap anak yang bersangkutan dalam perkara kenakalan hendaknya mengambil sikap sebagai berikut : a) Mengadakan introspeksi sepenuhnya akan kealpaan yang telah diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan. b) Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan yang menimpa anaknya. c) Meminta bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam mengawasi perkembangan kehidupan anak, apabila dipandang perlu d) Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari. BAB III PENUTUP Jelaslah bahwa kenakalan remaja sangat dipengaruhi oleh keluarga walaupun faktor lingkungan juga sangat berpengaruh. Faktor keluarga sangatlah penting karena merupakan lingkungan pertama, lingkungan primer. Apabila lingkungan keluarga tidak harmonis yaitu menglami hal-hal yang telah disebutkan diatas seperti keluarga broken home yang disebabkan perceraian, kebudayaan bisu, dan perang dingin serta kesalahan pendidikan akan berpengaruh kepada anak yang dapat menimbulkan kenakalan remaja. Bagaimanapun kenakalan remaja harus dilakukan pengendalian karena apabila berkelanjutan akan menyebabkan kerusakan pada kehidupannya pada masa yang akan datang. Selain dari pihak keluarga pengendalian kenakalan remaja juga harus dilakukan dari lingkungan remaja tersebut PENGARUH KELUARGA TERHADAP KENAKALAN ANAK Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ta’lim Muta’alim Dosen pengampu : Drs. H. Mashudi,S.PdI. Oleh Nurwachid 2005.4.075.0017.1.00126 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF MAGETAN 2008

FPI

Kata Pengantar Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, ada banyak “kata” yang seringkali dianggap saling berbenturan dan membentuk sebuah efek paradoksal. “Kata” itu bisa saja mewakili sebuah kelompok pemikiran (firqah), seorang tokoh, atau juga sebuah pemikiran tertentu. Diantara deretan “kata-kata” yang saling paradoks itu mungkin tidak salah jika kita menyebut “Ibnu Taimiyah” (sosok tokoh pemikiran penting abad 7 H) dan “Tasawuf” (sebuah aliran pemikiran yang sudah lama berkembang) sebagai salah satu contohnya. Dalam pandangan sebagian kalangan, kedua kata ini –Ibnu Taimiyah dan Tasawuf- dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap Tasawuf. Pandangan ini tentu saja semakin menyempurnakan gambaran kekerasan pada tokoh yang satu ini. Sehingga – bagi mereka yang tidak memahami dengan baik- setiap kali mendengarkan kata “Ibnu Taimiyah”, maka opini dan image yang tercipta adalah kekerasan, kekejaman, permusuhan, dan yang semacamnya. Hal-hal itulah diantaranya yang menjadi alasan pemunculan tulisan ini. Pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran “permusuhan” Ibnu Taimiyah dan Tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui tulisan ini. Tentu saja dengan merujuk langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu Taimiyah untuk peradaban manusia. IBNU TAIMIYAH DAN TASAWUF A. Sekilas Tentang Ibnu Taimiyah Dunia Islam di era Ibnu Taimiyah –sebelum dan setelah ia dilahirkan- adalah dunia Islam yang penuh gejolak. Gejolak pemikiran dan juga gejolak politik yang berkepanjangan. Ibnu Taimiyah sendiri dilahirkan tepat lima tahun setelah Baghdad –ibukota Islam- jatuh dan porak-poranda di tangan Bangsa Tartar. Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 13-15 Tepat pada hari Senin, 12 Rabi’ al-Awwal tahun 661 H (1263 M), Ibnu Taimiyah dilahirkan di sebuah kota yang terletak antara sungai Dajlah dan Eufrat bernama Harran. Oleh orangtuanya ia diberi nama Ahmad. Dan para ahli sejarah menuliskan nama lengkapnya dengan: Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn ‘Abd al-Salam ibn Abi al-Qasim ibn Muhammad ibn Taimiyah al-Harrany al-Dimasyqy. Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 1/104, al-Durar al-Kaminah, 1/144. Tidak lama ia menghabiskan masa kecilnya di kota kecil bernama Harran itu. Ketika usianya memasuki tujuh tahun, ia bersama seluruh keluarganya terpaksa mengungsi ke kota Damaskus karena pasukan Tartar telah memasuki dan akhirnya menguasai Harran. Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat mendukung perkembangannya untuk kelak menjadi seorang ulama dan pemikir Islam besar. Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-Halim adalah seorang ahli hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy. Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H. Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 13/308, Tadzkirah al-Huffazh, 4/288. Di samping hal itu, ada beberapa faktor lain yang juga dapat disimpulkan sebagai penyebab kecemerlangan pemikiran Ibnu Taimiyah di kemudian hari. Diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Kekuatan hafalan dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangat kecil ia berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’annya. Setelah itu, ia pun mulai belajar menulis dan hisab. Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan bahasa secara mendalam. Semua ilmu itu berhasil dikuasainya sebelum ia berusia 20 tahun. 2. Kesiapan pribadinya untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar dan meneliti. Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam penjara. Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk menikah hingga akhir hayatnya. 3. Kemerdekaan pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu. Baginya dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan terbukanya pintu ijtihad, dan bahwa setiap orang –siapapun ia- dapat diterima atau ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah saw. Itulah sebabnya ia menegaskan, “Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas dalam madzhab Imam yang empat.”. Lih. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, 2/288, al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, 189-190. Ibnu Taimiyah meninggalkan cukup banyak karya yang menunjukkan perhatiannya yang cukup dalam terhadap Tasawuf. Beberapa karyanya dimana ia banyak menyinggung tema-tema sentral yang biasa diangkat para sufi, diantaranya adalah: 1. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan. 2. al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi A’mal al-Qulub 3. al-‘Ubudiyyah 4. Darajat al-Yaqin 5. al-Risalah al-Tadmuriyah 6. Risalah fi al-Sama’ wa al-Raqsh 7. Term al-Tashawwuf dan al-Suluk dalam kumpulan fatwanya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Secara umum, sikap Ibnu Taimiyah yang tertuang dalam karya-karyanya itu terpusat pada upaya meletakkan landasan pandangan Tasawuf yang ia yakini, lalu mengapresiasi apa yang ia sebut dengan “Tasawwuf yang sesuai dengan Syariat” dan mengkritisi apa yang ia sebut sebut sebagai “Tasawuf yang menyimpang”. Dan berikut ini akan diuraikan pokok-pokok pandangannya terhadap Tasawuf. B. Pengertian ‘Tasawuf’ Menurut Ibnu Taimiyah Sebagaimana diketahui, bahwa para peneliti tentang Tasawuf memiliki pandangan yang berbeda tentang asal kata yang membentuk frase Tasawuf itu. Berbagai pertanyaan pun lahir dari masalah ini; apakah “sufi” adalah kata asli bahasa Arab atau kata asing yang ‘diarabkan’? Jika ia adalah kata asing, dari bahasa manakah ia berasal? Jika ia adalah kata asli bahasa Arab, apakah ia kata yang jamid atau musytaq? Lih. al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, hal. 25, al-Luma’, hal. 26, Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, hal. 200. Perdebatan seputar asal pembentukan “Tasawuf” atau “sufi” ini juga diulas oleh Ibnu Taimiyah. Dalam ulasannya, ia menguraikan semua pandangan yang ada dalam masalah ini, mendiskusikannya lalu kemudian menyampaikan pandangannya sendiri yang disertai dengan dalil dan argumentasinya. Dari semua pendapat yang ada, umumnya kritik yang dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah berkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam penisbatan sebuah kata untuk kemudian menjadi “sufi”. Meski terkadang kritiknya juga terkait dengan wawasannya tentang sejarah. Salah satu contohnya adalah ketika ia mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa “sufi” adalah penisbatan kepada Ahl al-Shuffah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Penisbatan (sufi) kepada ‘al-Shuffah’adalah sebuah kekeliruan. Sebab jika (‘sufi’ adalah penisbatan kepada ‘al-Shuffah’), maka seharusnya menjadi ‘shuffy’ صفي , dan bukan ‘sufi’ . صوفي Majmu’ Fatawa, 11/60 tema al-Tashawwuf, al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 16. Di samping itu, ia juga menafikan –berdasarkan fakta sejarah- pendapat ini dengan menyatakan bahwa Shuffah yang terletak di bagian selatan Mesjid Rasulullah saw kala itu bukanlah tempat yang khusus dihuni oleh kelompok tertentu. Tempat itu sepenuhnya untuk orang-orang yang datang ke Madinah sementara mereka tidak mempunyai keluarga atau rumah di Madinah. Kaum muslimin yang berasal dari luar Madinah jika berkunjung ke kota itu dapat menginap di mana saja, dan Shuffah menjadi alternatif terakhir bila mereka tidak menemukan tempat bernaung. Karena itu –menurut Ibnu Taimiyah- penghuni Shuffah selalu berganti. Terkadang jumlahnya banyak, tapi pada kali yang lain menjadi sedikit. Karakternya pun berbeda-beda; ada yang ahli ibadah dan ilmu, namun ada pula yang tidak demikian. Bahkan, diantara mereka kemudian ada yang murtad dan diperangi oleh Nabi saw. Karena itu, tidak ada alasan untuk menisbatkan “sufi” kepada Ahl al-Shuffah. Lih. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 36-37. Pada akhirnya, Ibnu Taimiyah lebih menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa “sufi” adalah sebuah penisbatan pada pakaian shuf ( صوف )bulu domba. Di samping karena alasan kaidah kebahasaan, dari segi fakta, para sufi dan zuhhad juga banyak mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Lih. al-Tashawwuf, hal. 29. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 36. Lihat juga Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 48. Namun, Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting yang patut direnungkan. Ia mengingatkan bahwa mengenakan model pakaian tertentu (seperti yang terbuat dari bulu domba) sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai tanda atau bukti kewalian seseorang. Ia mengatakan, “Para wali Allah sama sekali tidak memiliki ciri yang menjadi kekhasan mereka secara lahiriah dari hal-hal yang mubah. Mereka tidak menjadi beda dengan mengenakan model pakaian tertentu lalu meninggalkan model yang lain, selama keduanya adalah perkara yang mubah.” Ibid., hal. 69 Hal ini mengantarkan pada kesimpulan lain bahwa dalam hal ini, Ibnu Taimiyah lebih mementingkan ‘isi’ dan ‘kandungan’ yang sesungguhnya daripada harus mementingkan penampilan lahiriah. Itulah sebabnya, dalam mengulas tentang Tasawuf, ia tidak terpaku pada istilah ini secara baku. Ia juga menggunakan istilah “al-Fuqara’” (kaum fakir), “al-Zuhhad” (kaum pelaku kezuhudan), “al-Salikin” (para penempuh jalan menuju Allah), “Ashab al-Qalb” (pemerhati dan pemilik hati), “Arbab al-Ahwal” (para penempuh ahwal), “Ashab al-Shufiyah” (pelaku jalan sufi), atau Ashab al-Tashawwuf al-Masyru’ (pelaku Tasawuf yang disyariatkan); semuanya untuk menunjukkan satu makna, yaitu para penempuh jalan ruhani dalam Islam. Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/368. Sebagaimana ia juga menegaskan bahwa jalan ruhani ini samasekali tidak menjadi monopoli kelompok tertentu. Para ulama, qurra’ dan yang lainnya pun dapat dikategorikan sebagai para penempuh jalan ini, sebab –baginya- Islam adalah sebuah keutuhan antara zhahir dan bathin, jiwa dan raga. Lih. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 58. C. Sejarah Pemunculan Tasawuf Seperti pembahasan sebelumnya, para peneliti Tasawuf juga memiliki pandangan yang berbeda seputar awal sejarah pemunculan Tasawuf. Sebagian peneliti bahkan mengatakan istilah “sufi” telah ada di masa jahiliyyah. Ibnu Taimiyah sendiri menyimpulkan bahwa istilah ini baru muncul pada awal-awal abad 2 H. Akan tetapi penggunaannya baru terkenal setelah abad 3 H. Ia mengatakan, “Awal mula munculnya Sufiyah adalah dari Bashrah, dan yang pertama kali membangun rumah kecil untuk kaum sufi adalah beberapa orang pengikut Abd al-Wahid bin Zaid. Abd al-Wahid bin Zaid ini adalah salah satu murid dari al-Hasan al-Bashri. Saat itu perhatian pada kezuhudan, ibadah, khauf, dan yang semacamnya di Bashrah sangat berlebihan melebihi kota-kota lain. Itulah sebabnya muncul pameo: ‘fikihnya fikih Kufah, tapi ibadahnya ibadah Bashrah’.” Lih. Ithaf al-Sadat al-Muttaqin, 9/255. D. Pembagian Sufi Menurut Ibnu Taimiyah Menurut Ibnu Taimiyah, para sufi itu dapat dibagi menjadi 3 golongan: 1. sufi yang hakiki (shufiyyah al-haqa’iq) 2. sufi yang hanya mengharapkan rezki (shufiyyah al-arzaq) 3. sufi yang hanya mementingkan penampilan (shufiyyah al-rasm) Sufi yang hakiki menurutnya adalah mereka yang berkonsentrasi untuk ibadah menjalani kezuhudan di dunia. Mereka adalah orang-orang yang memandang bahwa seorang sufi adalah “orang yang bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan tafakur, dan yang menjadi sama baginya nilai emas dan batu.” Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19. Menurut Ibnu Taimiyah, seorang sufi yang hakiki haruslah memenuhi 3 syarat berikut: 1. Ia harus mampu melakukan “keseimbangan syar’i”. Yaitu dengan menunaikan yang fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Dengan kata lain, seorang sufi yang hakiki harus komitmen dengan jalan taqwa. 2. Ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini. Yaitu mengamalkan adab-adab syar’i dan meninggalkan adab-adab yang bid’ah. Atau dengan kata lain, mengikuti adab-adab al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. 3. Bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan dan menyebabkannya hidup berlebihan. Adapun shufiyyah al-arzaq (yang hanya mengharapkan rezki) adalah mereka yang bergantung pada harta-harta wakaf yang diberikan kepada mereka. Sedangkan shufiyyah al-rasm adalah sekumpulan orang yang merasa cukup dengan menisbatkan diri kepada sufi. Bagi mereka yang penting adalah penampilan dan perilaku lahiriah saja, tidak hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama dengan orang yang merasa cukup berpenampilan seperti ulama –hingga menyebabkan orang bodoh menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan. Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19-20. Dengan pembagian ini, kita dapat mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah telah mencermati perkembangan Tasawuf dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, ia seperti menegaskan adanya semacam pergeseran dalam memahami Tasawuf yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, -sebagaimana telah disinggung sebelumnya- bagi Ibnu Taimiyah, wali Allah yang hakiki itu tidak memiliki model penampilan khusus yang berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Mengapa? Karena –menurutnya- para wali itu sebenarnya tersebar dan ada dalam setiap kelompok dan lapisan masyarakat yang berpegang teguh pada Syariat Allah yang benar dan meninggalkan bid’ah. Mereka ada di tengah para ulama, qurra’, prajurit yang berjihad, atau profesi-profesi lainnya. Para wali itu bergerak menunaikan kewajiban duniawi mereka dengan tidak melepaskan penghambaan mereka kepada Allah Ta’ala. Lih. Al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 58. Di sisi yang lain, Ibnu Taimiyah juga mengkritik para sufi yang hanya memberikan perhatian terhadap ranah ruhani saja, tanpa memperhatikan ranah lahiri dan sosial. Baginya, ketimpangan yang terjadi pada salah satu dari sisi ruhani dan lahiri akan mengakibatkan munculnya sebuah bid’ah baru. Sebab Islam sesungguhnya menyerukan kesalehan masyarakat manusia yang utuh, zhahir dan bathin. Seorang sufi yang sempurna menurutnya harus mampu menyelaraskan amalan hati dengan amalan duniawi. Ia menyebutnya dengan, “Dunia berkhidmat untuk dien (agama).” Al-Siyasah al-Syar’iyyah, hal. 179. E. Ibnu Taimiyah Memusuhi Tasawuf; Benarkah? Setidaknya ada 2 tuduhan penting terkait dengan pembahasan ini: (1) Ibnu Taimiyah sangat membenci dan memusuhi Tasawuf, dan (2) ia adalah sosok yang “berhati batu”. Benarkah demikian? 1. Pertama, Ibnu Taimiyah memusuhi Tasawuf. Ini semacam opini umum yang berkembang di kalangan para pengkaji Tasawuf, dulu dan sekarang. Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah terma Tasawuf, 5/273. Opini ini sesungguhnya tidak dibangun di atas pijakan yang benar. Ini sepenuhnya hanya didasarkan pada kesimpulan yang salah. Siapa pun yang mendalami karya-karya Ibnu Taimiyah akan mendapati bahwa ia berulang kali memuji para syekh sufi besar yang konsisten dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadikan perkataan-perkataan mereka sebagai penguat prinsip-prinsip yang diyakininya. Lih. Syarh al’Aqidah al-Ishfahaniyah, hal. 128 Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah juga telah menulis karya-karya yang secara khusus menjelaskan dan menjabarkan jalan Tasawuf yang ia yakini kebenarannya. Dan itu –seperti telah dijelaskan- dilakukan dengan mengutip pandangan dan perkataan para tokoh sufi generasi awal yang berpegang pada cahaya al-Qur’an, al-Sunnah dan pandangan kaum salaf. Untuk memastikan permusuhan Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf secara mutlak menuntut kita untuk menelaah ide-idenya yang tertuang dalam berbagai karyanya. Untuk mengatakan bahwa ia mendukung semua jenis Tasawuf tentu juga tidaklah tepat. Sebagaimana menyatakan bahwa ia menolak dan memusuhi semua jenis Tasawuf juga tidaklah benar. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah mendukung dan menjalani apa yang disebutnya sebagai Tasawuf Masyru’ (Tasawuf yang disyariatkan). Tasawuf yang mengambil ajaran-ajarannya dari sumber terbersih yang diwariskan oleh Rasulullah saw. Kritik-kritik tajam yang ia lontarkan terhadap ‘ide-ide asing dari Islam’ tidak lebih merupakan upaya kerasnya untuk menjaga kemurnian Tasawuf, agar para sufi dapat menempuh perjalanan mereka menuju Allah dengan tetap berpegang pada Syariat-Nya dan menjaga batasan-batasan-Nya. Apakah Ibnu Taimiyah memusuhi jenis Tasawuf ini? Ia justru menghabiskan hidupnya untuk memperjuangkannya. Lih. Pengantar Syekh Husnain Makhluf terhadap Risalah al-Mustarsyidin, hal. 10. Adapun Tasawuf yang lebih banyak melandaskan ajaran-ajarannya dengan ide-ide asing yang berasal dari luar Islam, seperti Tasawuf Bathiniyah yang banyak dipengaruhi ideologi-ideologi pra Islam, maka Ibnu Taimiyah bukanlah orang pertama yang melontarkan kritikannya. Para pemuka sufi seperti al-Junaid (w. 297 H), al-Hasan al-Bashry, al-Harits al-Muhasiby (w. 243 H), dan yang lainnya juga telah mendahului Ibnu Taimiyah dalam hal itu. 2. Kedua, Ibnu Taimiyah “berhati batu (keras)” Tuduhan ini mungkin disebabkan karena hanya memandang sosok Ibnu Taimiyah dari satu sisi saja dan melupakan sisi-sisi lain kepribadiannya. Harus diakui, bahwa kondisi zamannya yang diliputi pergolakan sedikit banyak mungkin mempengaruhi pribadi Ibnu Taimiyah. Sehingga tidak mengherankan –di tengah kewajiban membela agama dan tanah airnya-, Ibnu Taimiyah kemudian menjelma menjadi sosok “prajurit” yang keras. Dan faktanya memang menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah beberapa kali terlibat dalam peperangan melawan pasukan Mongolia. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak mengubah kehalusan pribadinya. Ia tetaplah Ibnu Taimiyah yang merindukan perjumpaan dengan Tuhannya, tidak putus mengingat-Nya meski harus melewati hari-hari panjang dalam penjara, dan selalu tulus memaafkan musuh yang telah melontarkan fitnah dan tuduhan keji terhadapnya. Ia juga tetaplah Ibnu Taimiyah yang menyimpan ketawadhuan, yang ketika tidak memahami suatu masalah, ia pergi ke Mesjid dan membenamkan wajahnya ke lantainya sembari berdoa, “Wahai Dzat Yang mengajari Ibrahim, ajarilah aku!”. Dan siapa pun yang menelaah secara utuh tentangnya melalui karya yang ditinggalkannya, akan menemukan kalimat-kalimat yang membuktikan kedalaman ma’rifatnya kepada Allah dan kecintaannya pada makhluk-Nya. Lih. Al-‘Uqud al-Durriyah, hal. 26, Majmu’ al-Fatawa, 11/75, dan Nasy’at al-Fikr al-Falsafy fi al-Islam, 3/15. PENUTUP Tentu saja tulisan singkat ini belum sepenuhnya sempurna dan utuh dalam menggambarkan serta menguraikan pandangan-pandangan khas Ibnu Taimiyah tentang Tasawuf. Tetapi dari uraian di atas, setidaknya ada titik-titik penting yang dapat disimpulkan seputar hubungan antara Tasawuf dan sosok Ibnu Taimiyah sendiri. Setidaknya dari sini dapat terungkap bahwa kontroversi Ibnu Taimiyah dalam menyikapi Tasawuf yang berkembang di zamannya tidak lebih dari sebuah wujud kegelisahan dan kekhawatirannya jika jalan sufi itu justru tidak mencapai tujuan tertingginya; yaitu mengantarkan seorang hamba menuju Allah Ta’ala. Itulah sebabnya, ia selalu berusaha mengikat pandangan-pandangan Tasawufnya dengan wahyu. Maka tidaklah mengherankan jika ia sering merujuk kepada pandangan-pandangan para syekh sufi generasi awal –yang dalam pandangannya masih teguh menjaga jalan sufi ini tetap dalam bingkai wahyu dan tidak dipengaruhi oleh ide-ide asing-. Demikianlah, dan waLlahu Ta’ala a’la wa a’lam. DAFTAR PUSTAKA 1. Al-Aqidah wa al-Syari’ah fi Al-Islam: Goldziher, Diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh: DR. Muhammad Yusuf Musa, dkk. Dar al-Kutub al-Haditsah, Mesir, Cetakan kedua. Tahun 1959. 2. Al-Bidayah wa al-Nihayah: Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma’arif, Beirut, Cetakan pertama, Tahun 1966. 3. Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyah: Ibrahim Zaki Khurshid, Mathba‘ah al-Sya‘ab, Tahun 1969. 4. Al-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Mi’ah al-Tsaminah: Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Dar al-Ma‘arif, Cetakan pertama, Tahun 1947. 5. Falsafat dan Mistisme dalam Islam: Harun Nasution, Pustaka Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan kesebelas, Agustus 2004. 6. Al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan: Ibnu Taimiyah, Maktabah Shubaih, Cetakan tahun 1378 H/1958 M. 7. Ibnu Taimiyah, Hayatuhu wa ‘Ashruhu: Muhammad Abu Zahrah, Dar al-Fikr al-‘Araby, Tahun 1946. 8. Al-Islam wa al-Tashawwuf: Syaikh Mushtafa ‘Abd al-Raziq, Editor: Zaky Khurshid dan ‘Abd al-Halim Yunus, Mathba’ah al-Sya’b, Kairo, t.t. 9. Jami’ al-Rasa’il: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim, Mathba’ah al-Madany, Cetakan tahun 1389 H/1969 M. 10. Kitab al-Iman: Ibnu Taimiyah, Koreksi: Muhammad Khalil Harras, Dar al-Thiba’ah al-Muhammadiyah, Kairo, t.t. 11. Al-Luma’: Abu Nashr al-Thusy, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, Tahun 1971. 12. Majmu’ al-Fatawa: Ibnu Taimiyah, Dikumpulkan oleh Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim, Mathabi’ al-Riyadh, Cetakan pertama, t.t. 13. Majmu’ah al-Rasa’il al-Kubra: Ibnu Taimiyah, Mathba’ah Ali Shubaih, Tahun 1385 H/ 1966 M. 14. Majmu’ah al-Rasa’il wa al-Masa’il: Ibnu Taimiyah, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, t.t. 15. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah al-Tajdidy al-Salafy wa Da’watuhu al-Ishlahiyah: DR. Sa’id ‘Abdul ‘Azhim, Dar al-Iman, Alexandria, Cetakan tahun 2004. 16. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. t.t. 17. Al-Mu’jam al-Falsafy: DR. ‘Abd al-Mun’im al-Hifny, al-Dar al-Syarqiyah, Kairo, Cetakan pertama, Tahun 1410 H/1990 M. 18. Al-Mu’jizah wa Karamat al-Auliya’: Ibnu Taimiyah, Maktabah al-Syarq al-Jadid, Baghdad, t.t. 19. Mukhtar al-Shihah: Abu Bakr al-Razy, Al-Mathba’ah al-Amiriyyah, Kairo, t.t. 20. Nasy’at al-Fikr al-Falsafy: DR. Ali Samy al-Nasysyar, Dar al-Ma’arif, Cetakan kelima, Tahun 1971. 21. Al-Qamus al-Muhith: Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuz Abady, Mua’ssasah al-Risalah, Beirut, Cetakan kedua, Tahun 1987. 22. Al-Risalah al-Qusyairiyah: Abu al-Qasim al-Qusyairy, Tahqiq: DR. ‘Abdul Halim Mahmud, Dar al-Ta’lif, Cetakan pertama, Tahun 1385 H/ 1966 M. 23. Al-Shufiyah wa al-Fuqara’: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Jamil Ghazi, Mathba’ah al-Madany, Mesir, t.t. 24. Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra‘iy wa al-Ra ‘iyah: Ibnu Taimiyah, Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, Mesir, t.t. 25. Sunan Ibnu Majah: Tahqiq: Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Mathba’ah al-Halaby, Mesir, t.t. 26. Syadzarat al-Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: Ibn al-‘Imad al-Hanbaly, Al-Maktabah al-Tijariyah, Beirut, t.t. 27. Syu’ab al-Iman: Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Baihaqy, Tahqiq: Muhammad al-Sayyid Zaghlul, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Tahun 1410 H/1990 M. 28. Al-Ta’arruf li Madzahib Ahl Al-Tashawwuf: Syaikh Abu Bakr al-Kalabadzy, Dar al-Ittihad al-‘Araby, Cetakan pertama, Tahun 1389 H/1969 M. 29. Tadzkirah al-Huffazh: Al-Dzahaby, Cetakan Haidar Abad, t.t. 30. Tafsir al-Razy (al-Tafsir al-Kabir): Fakhr al-Din al-Razy, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Araby, Beirut, t.t. 31. Al-Tashawwuf: Ibnu Taimiyah (Lih. Majmu’ al-Fatawa). 32. Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah: DR. ‘Abd al-Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, Dar al-Wafa’, Kairo, Cetakan pertama. 1420 H/ 2000 M. 33. Thabaqat al-Shufiyyah: Abu Abd al-Rahman al-Sulamy, Tahqiq: DR. Ahmad al-Syarbashy, Mathba’ah al-Sya’b, t.t. 34. Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi al-A’mal al-Qalbiyyah: Ibnu Taimiyah, Al-Mathba’ah al-Salafiyyah, Kairo, Tahun 1386 H. 35. Al-‘Ubudiyyah: Ibnu Taimiyah, Dar al-Ta’lif, Cetakan ketiga, Tahun 1366 H/1947 M. 36. Al-‘Uqud al-Durriyah fi Manaqib Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah: Ibnu ‘Abd al-Hady, Tahqiq: Muhammad Hamid al-Faqy, Kairo, Tahun 1357 H/1937 M. 37. Al-Wabil al-Shayyib min al-Kalim al-Thayyib: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tahqiq: Muhammad Basyir ‘Uyun, Maktabah Dar al-Bayan, Beirut, Cetakan kelima, 1995. ________________________________________ [1] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 13-15. [2] Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 1/104, al-Durar al-Kaminah, 1/144. [3] Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 13/308, Tadzkirah al-Huffazh, 4/288. [4] Lih. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, 2/288, al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, 189-190. [5] Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 20. Kisah juga menjadi jawaban terhadap pandangan sebagian pemikir Islam –terutama saat membahas puisi-puisi al-Hallaj dan yang semacamnya- yang mengatakan bahwa para ulama yang mengkritisi mereka seperti Ibnu Taimiyah samasekali tidak memahami bahasa-bahasa puisi dan sastra. Tentu sangat sulit diterima akal sehat, jika Ibnu Taimiyah yang dengan cepat dapat menggubah syair ternyata tidak dapat memahami syair-syair al-Hallaj. Perlu juga diketahui, bahwa penguasaan terhadap syair sebagai bagian dari keahlian bahasa adalah hal yang umum dikuasai oleh para ulama Islam terdahulu. Ini tidak lain, karena mereka meyakini bahwa memahami al-Qur’an dan al-Sunnah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan penguasaan bahasa yang mumpuni. Wallahu a’lam. [6] Lih. Syadzarat al-Dzahab, 6/71, al-Bidayah wa al-Nihayah, 14/132-133. [7] Lih. Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah, hal. 235. [8] Ibid., hal. 21 [9] Al-Wabil al-Shayyib, hal. 57. [10] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 22-23. [11] Ibid., hal. 23. [12] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 23. Ketika sultan meminta Ibnu Taimiyah untuk memberi fatwa untuk menghabisi kelompok Ibnu Makhluf al-Maliky, Ibnu Taimiyah malah mengatakan, “Apa jadinya kerajaan Anda jika didukung oleh para ulama itu?” [13] Lih. al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, hal. 25, al-Luma’, hal. 26, Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, hal. 200. [14] Majmu’ Fatawa, 11/60 tema al-Tashawwuf, al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 16. [15] Lih. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 36-37. [16] Lih. al-Tashawwuf, hal. 29. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 36. Lihat juga Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 48. [17] Ibid., hal. 69. [18] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/368. [19] Lih. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 58. [20] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/6-7. Salah kisah yang dijadikan bukti tentang hal ini oleh Ibnu Taimiyah adalah kisah kematian Abu Jubair al-A’ma. Dikisahkan oleh Shalih al-Murry, “Suatu ketika, aku membacakan ayat al-Qur’an kepada seorang ahli ibadah (maksudnya: Abu Jubair al-A’ma –pen): “Pada hari wajah-wajah mereka dibolak-balikkan di dalam neraka, mereka berkata, ‘Duhai andaikata dulu kami menaati Allah dan menaati RasulNya.” (QS. al-Ahzab: 66). Ia pun pingsan. Tidak lama kemudian ia sadar kembali, dan berkata, “Tambahlah bacaanmu, wahai Shalih!” Maka aku pun membaca: “Setiap kali mereka ingin keluar darinya (neraka), mereka pun dikembalikan ke dalamnya.”(QS. al-Sajadah: 20). Ia pun tersungkur dan meninggal dunia.” Lih. Ithaf al-Sadat al-Muttaqin, 9/255. [21] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19. [22] Al-Shufiyyah wa al-Fuqara’, hal. 26. [23] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19-20. [24] Lih. Al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 58. [25] Al-Siyasah al-Syar’iyyah, hal. 179. [26] Seperti yang disebutkan oleh Goldziher dalam al-‘Aqidah wa al-Syari’ah dan Louis Massignon dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah terma Tasawuf, 5/273. [27] Lih. Syarh al’Aqidah al-Ishfahaniyah, hal. 128. Di sini secara khusus ia memuji pemuka-pemuka sufi seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh (w.187 H) dan Ma’ruf al-Karkhy. [28] al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 38. [29] Majmu’ al-Rasa’il al-Kubra, 2/324. Lih. juga pengakuannya yang lain dalam Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/418. [30] Lih. Pengantar Syekh Husnain Makhluf terhadap Risalah al-Mustarsyidin, hal. 10. [31] Lih. Al-‘Uqud al-Durriyah, hal. 26, Majmu’ al-Fatawa, 11/75, dan Nasy’at al-Fikr al-Falsafy fi al-Islam, 3/15. [32] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/15. [33] Op.cit., 10/16. Lih. juga al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 16. Ibnu Taimiyah juga mengkritik dampak pembagian ahwal dan maqamat menjadi “untuk awam dan khas” yang menyebabkan munculnya sebagian kalangan sufi yang menjelaskan ahwal dan maqamat itu dengan istilah-istilah yang rumit dan membingungkan. Bahkan terkesan kerumitan dan ketidakjelasan itu menjadi hal yang disengaja untuk menunjukkan ketinggian maqam sang sufi. [34] Lih. Al-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 77. [35] QS. Al-Baqarah: 222. [36] Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 64. [37] Lih. Jami’ al-Rasa’il, hal.227. [38] HR. Muslim no. 2702. [39] Lih. Jami’ al-Rasa’il, hal. 227. [40] Lih. Al-Suluk, hal.219. [41] Lih. Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, hal. 221. [42] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/17. [43] Majmu’ al-Fatawa, 10/18. [44] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/21-22. [45] HR. Ibnu Majah, no. 4101, dan al-Baihaqy dalam Syu’ab al-Iman, no. 10529. [46] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/28-29. [47] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/617. Dalam kesempatan yang sama, Ibnu Taimiyah juga mengkritik al-Ghazaly yang menjadikan zuhud sebagai salah satu syarat sah keislaman seseorang. Menurutnya, ini terlalu berlebihan. [48] Diantaranya misalnya maqam ridha, ‘ubudiyyah, khauf dan raja’. Lih. Majmu’ al-Fatawa 10/616, al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah hal.58, al-‘Ubudiyyah hal. 43, dan Kitab al-Iman hal. 19. [49] Lih. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, hal. 54. Lihat catatan kaki sebelumnya (no. 48) dimana Ibnu Taimiyah menganggap khauf sebagai salah satu maqamat, sementara dalam literatur Tasawuf lain khauf dikategorikan sebagai salah satu ahwal. [50] Lih. Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 73. [51] Ibid., hal.45. [52] Majmu’ al-Fatawa, (10/193). [53] Ibid., (10/194) [54] Majmu’ al-Fatawa, (18/315). [55] Ibid., (18/320). [56] Lih. Mukhtar al-Shihah, hal. 736-737, al-Qamus al-Muhith, 4/401, Tafsir al-Razy, 7/17, al-Islam wa al-Tashawwuf, hal. 49-50. [57] Lih. Al-Islam wa al-Tashawwuf, hal. 50. [58] Majmu’ah al-Rasa’il wa al-Masa’il, (1/50). [59] Al-Tashawwuf, hal. 76. [60] Lih. Al-Rasa’il wa al-Masa’il, (5/154). [61] Al-Mu’jizah wa Karamat al-Auliya’, hal. 39. [62] Lih. Al-Rasa’il wa al-Masa’il, 5/158, Majmu’ al-Fatawa, 11/320, al-Mu’jizah wa Karamat al-Auliya’, hal. 40. [63] Lih. Ibn Taimiyah, Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa Ara’uhu wa Fiqhuhu, hal. 318. [64] Thabaqat al-Shufiyyah, hal. 58. [65] Mukhathabah dan mukasyafah adalah istilah yang biasa digunakan kaum sufi untuk menunjukkan jalan dan cara seorang sufi mendapatkan ilmu, baik itu melalui pendengaran yang ghaib (mukhathabah) atau mukasyafah (penyingkapan tabir yang ghaib melalui ilham). Lih. Al-Mu’jam al-Falsafy, hal. 278. [66] Al-Rasa’il wa al-Masa’il, (1/53). Prev: About Me